Cerita Rakyat Indonesia, Wasiat Kehidupan

Contoh cerita rakyat Indonesia : “Tin..Tin..Tin....” Dentuman suara klakson terdengar dari segala penjuru. Penantian ini semakin lama karena  keberalanjutan dari proses lancarnya jalanan masih mengawang. Kata orang-orang yang sedang nongkrong  di warung pinggir jalan,-diujung jalan sana kecelakaan maut antara truk fuso dengan pengendara sepeda motor.

Setelah mendengar potongan kalimat dari orang-orang itu, tak akan tertulis lagi lanjutan dari kisah kecelakaan itu. Namanya Gian, atau orang-orang lebih sering memanggil dengan sebutan Gi atau Iyan.
Cerita Rakyat Indonesia, Wasiat Kehidupan

Jika bertemu dengan Gian maka seperti ada rasa ingin mencubit pipi mungil Gi setiap waktu. Ia masih bersekolah SD, jarak antara SD dengan rumah Gian tidak terlalu jauh, tetapi jarak yang tidak terlalu jauh tersebut sering membuat kaki kecil Gian sakit.

Sepulang sekolah hari ini, Gian duduk di kursi depan gerbang SD-nya. Sebungkus coklat yang dibeli tadi pagi ia makan di tempat itu. -
“Gian belum pulang?” tanya seorang guru sambil menuntun sepeda tua kebanggannya.
Gian menggeleng sambil mengunyah coklatnya.
“Gian sedang menunggu ayah ya?”

Gian mengangguk lalu memalingkan wajah ke arah teman-teman yang sedang dijemput oleh orang tua-.  Sekitar dua puluh menit kemudian, Gian dikalahkan oleh penantian lalu berjalan sendirian pulang ke rumah. Terkadang hal inilah yang membuat Gian mendapat panggilan khusus oleh teman-teman, ialah ‘Si Pemberani’.  Ia menyusuri pinggiran jalan itu, sesekali ia melompat-lompat sambil menjaga keseimbangan agar tak terjatuh ke jalan.

Ibu-ibu warung di sepanjang jalan itu hafal dengan teriakan bahkan suara langkah Gian. Mereka selalu memberi uang saku, jajan, minuman, kado, dan juga mencubit pipi Gian. Mereka bisa memilih apa saja yang ingin mereka lakukan kepada Gian. 

Tapi untuk kali ini, Gian mempercepat langkah karena tahu jalanan sedang tidak baik seperti hari yang lalu . Ia tak suka kebisingan dari bunyi klakson mobil yang selalu dihidupkan oleh sopir-sopir yang tidak tahu diri itu.

Belum sempat Gian sampai ke lokasi kejadian kecelakaan seperti yang orang-orang ceritakan, Gian berbelok ke arah jalan kiri.  Jalanan lurus yang terbentang dengan batuan kerikil tertabur diatas seolah butiran kismis yang melengkapi kue buatan ibu, pertigaan di ujung jalan lurus itu merupakan jalan utama menuju istana kecil Gian. Gian melangkah pelan-pelan.

“Gian, baru pulang ya nak?” sapa seorang Ibu di depan jalan sambil membawa tas belanja yang masih kosong
Gian mengangguk lalu melanjutkan perjalanan seolah tak peduli dengan sapaan ibu itu. Ia berlari pelan, tiba-tiba- Kedelebuggg. Gian terjatuh. Sebuah bola mengenai kepala Gian lalu jatuh diam di dekat tubuh Gian. Tangan Gian memegang dahinya . Matanya berkunang. Perlahan ia sentuh lututnya yang tergores. 
“Hah..haa.haaaa...hhaaaa” teriak laki-laki yang berjumlah lima orang.

“Rasain kamu Gian, emang enak terkena bola, hahahahha” kata salah satu anak yang tidak terlalu jelas asal-usulnya.

Gian menangis pelan dan diam sejenak.
Anak-anak tadi masih tertawa bahagia. Gian menyeka air mata lalu berusaha bangkit untuk berdiri. Anak-anak yang mengerjai Gian sudah pergi. Gian berjalan perlahan sambil menangis. Gian enggan membuka tabir tentang apa yang sudah ia alami kepada orang-orang. Untung saja suasana saat itu sedang sepi, Gian menghela nafas pelan.

Di pertigaan, ia berbelok ke kanan. Bagian paling ujung jalan utama adalah semak belukar dan lapangan yang dibatasi oleh tembok kokoh yang panjang  dan dibalik tembok tersebut terhampar lahan yang orang bilang akan ada seorang pejabat kota membangun pusat perbelanjaan.

Rumah yang tidak terlalu besar berdinding retak itu berhiaskan cat kuning yang mengelupas di beberapa bagian. Pohon mangga besar terikat sebuah ayunan ban menambah keserasian rumah Gian.

Sekitar lima menit dari pengkolan utama, rumah Gian sudah terlihat di kanan jalan. Di seberang jalan depan rumah hanya beberapa rumah yang sudah ditempati dan sisanya bangunan yang sedang dibangun atau sengaja terbengkalai.

“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh, sudah pulang nak?” jawab seorang wanita yang tersenyum kepada Gian. Wanita itu duduk di kursi roda dan ditemani buku-buku agama favorit.

“Gian sudah makan nak, ko Gian pulang telat?”
Gian menggeleng. Ia berlari ke meja belajar meletakkan tas. Lalu kembali lagi ke wanita itu sambil menggenggam buku,Gian menangis menadahkan mukanya ke pangkuan wanita itu,
“Gian kenapa nak?”. Gian menangis lalu berusaha menunjukkan luka di lututnya.

Wanita itu terdiam dan ikut menangis menyaksikan luka di lutut anak kesayangannya. Wanita itu memeluk dan mencium tanpa melepas tubuh Gian sedikitpun. Gian menyeka air matanya.

 Wanita itu lalu melepas tubuh anaknya. Gian duduk di sofa yang sudah kusut di dekat kursi roda ibunya. Ia lalu menyodorkan buku yang ia genggam.
“Kisah Suri Tauladan Nabi Musa a.s ”

Begitulah judul yang tertulis di sampul buku tersebut , wanita itu lalu membuka halaman demi halaman. “Baik, Ibu akan menjelaskan kisah nabi Musa a.s. Gian, Nabi Musa adalah nabi yang cerdas. Kamu tahu kan? (Gian menggeleng) Pada awal masa kelahiran Nabi Musa a.s sedang gencar  pembunuhan terhadap bayi laki-laki oleh seorang Raja, Raja Fir’aun. Karena menurut  tafsiran mimpi Raja Fir’aun, suatu saat akan lahir seorang bayi laki-laki yang dapat mengalahkan Fir’aun, semenjak itu setiap bayi laki-laki yang lahir akan dibunuh olehnya”

Tiba-tiba wanita itu menangis dan mengarahkan kursi roda agak mendekat ke arah Gian. Ia memeluk Gian,

“Gian, terima kasih kamu tetap ada disini, dahulu dirimu hampir bernasib sama dengan bayi laki-laki yang dibunuh oleh Fir’aun, dahulu Ayahmu akan menjual dirimu ke seorang saudagar, sedang umurmu baru dua tahun .

Saudagar itu bahkan berani membayar mahal kau nak, Ibu tahu bahwa kau akan di operasi dan organmu akan diambil oleh saudagar itu, Entah apa yang harus ibu lakukan sekarang, Ayahmu sudah genap tujuh tahun mendekam di penjara, Ibu tahu kenapa kau pulang telat, pasti kau menunggu ayah kan nak? Sudah ibu bilang tidak usah nak, hal itu sia-sia. Gurumu sering menelpon Ibu untuk memberitahukan hal ini nak  ”. Wanita itu menangis kembali.

Gian hanya bengong dan tak menanggapi serius celotehan ibu.     
Ibu Gian mengerti keadaan putra semata wayang yang selalu merindukan kasih sayang dari seorang ayah. Wanita itu melanjutkan kembali kisah nabi Musa a.s.

“Raja Fir’aun adalah raja yang tega memerintah dan menyiksa kaum lemah di negeri hanya karena tidak menuruti apa yang diucapkan oleh dirinya”.
Ibu Gian menangis tersedu-sedu. Ibu Gian menutup buku yang tengah ia baca untuk diceritakan kepada Gian.
Gian menoleh sendu dan diam,
Tiba-tiba

“Hwaaaa... Hwaaa.. aaaaa.. Szzzzzzzz...aaa tttttttttaaaa bbbb—uuuu’ “ kata Gian secara tiba-tiba
“Ya tuhan, terima kasih telah memberikan nikmat ini kepada anak-ku, sudah sekian lama ia diam tanpa huruf sekarang ia bisa mengucapkannya. 

Nak, tetapi ibu Ingin kau tetaplah menjadi bisu seperti kemarin nak. Ibu tak ingin keluar dari mulutmu kata-kata yang dapat menyakiti bahkan menggunjing orang lain nak, apalagi sampai semena-mena seperti Fir’aun , berdo’alah lewat hatimu, dan do’akan Ibu ya nak!” 

Gian mengangguk dan diam, lalu memeluk Ibunya  

 “Raja Fir’aun adalah orang yang menganggap dirinya sebagai Tuhan karena kesombongan terhadap apa yang sudah ia miliki” ... Wanita itu termenung. 
“Nak, jika suatu saat nanti jika kau menjadi orang besar, tetap rendah hati kepada orang-orang disekitarmu nak, jangan bersikap sombong apalagi sampai kelewat batas. Jika kau jadi orang besar,kau bukanlah apa-apa dimata ibu. Kau hanyalah seorang putra kecil Ibu yang dahulu pernah merindukan kasih sayang Ayah dan senantiasa berdo’a untuk Ibu”

Wanita itu lalu memeluk Gian. 
“Gian, ini buku catatan tebal dan bolpoin untukmu (Kata Ibu sambil menyodorkan ke Gian), bukankah dirimu telah belajar merangkai huruf dan menulis? Tulis apa saja yang engkau ingin katakan kepada Ibu ataupun guru dan teman-temanmu di sekolah. Silahkan gunakan buku ini sepanjang hidupmu, jika sudah sampai lembar terakhir segera beritahu Ibu ya nak, nanti Ibu akan belikan kembali”

Gian tersenyum menerima hadiah dari Ibunya. Ia lalu menulis di halaman pertama,

Gian sayang Ibu,
Gian akan bahagiain Ibu,
Jangan tinggalkan Gian ya Bu,

Wanita itu menangis kembali dan memeluk Gian dengan sangat erat,

Tok..Tok..Tok,, terdengar suara dari pintu rumah yang terbuka lebar, 
“Silahkan masuk, “

Tamu tersebut memunculkan tubuh lalu masuk ke dalam, 
Tak pelak wanita itu kaget karena tamunya adalah  seseorang polisi, 

“Apakah Ibu istri dari Pak Anwar?”...

Selesai

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Footer