Kejadian Kelam di Keluargaku Renggut Kebahagian, Cerpen
Jumat, 28 Februari 2020
Edit
Mereka melangkah di balik hiruk pikuk senja kota yang penat, menyisiri deretan panjang kendaraan mahal yang sesekali pengemudinya menekan tombol klakson, bergantian. Yah, beginilah setiap hari. Senja kota selalu saja berkawan dengan debu, sedang asap kendaraan turut meliar seolah ingin beradu kuat. Mereka hanya berdua, selalu berdua bahkan. Yang kurus tinggi biasa dipanggil Opek sedangkan yang keriting berlesung pipi namanya Cim.
Lebih dari tiga tahun lamanya, kala riuh kendaraan mulai terdengar, mereka selalu terjun ke jalan pinggiran taman bukan untuk mengemis, bukan. Bukan untuk mengamen, bukan. Bukan untuk berjualan, bukan. Mereka tengah mencari obat rindu sejak tiga tahun silam hingga kini, hingga badut-badut liar tidak lagi boleh masuk ke taman kota.
“Cim, mana Kak Opek?” tanya gadis kecil pada bocah ganteng bermata bulat itu.
“Itu di seberang kolam.” Jawab Cim sembari menunjuk pada arah yang dimaksud.
“Gimana? Sudah ketemu?” tanya gadis kecil itu kemudian.
“Belum. Mereka tak mengenal Eca, bahkan pernah melihat pun tidak.” Jawab Cim sembari menatap foto dalam pamflet yang di bawanya.
“Yasudah, jangan menyerah. Nih, makan jagung bakar dulu.” Kata gadis kecil itu sembari memberikan jagung bakar yang harumnya menusuk hidung.
“Pedas manis kan Li? Hemm.. sedapnyaa” Ujar Cim sembari mendekatkan jagung yang dipegang ke hidungnya.
“Iya. Aku sangat tahu kesukaanmu. Cim tunggu di sini ya, Uli mau cari kak Opek dulu.” Kata gadis kecil itu sembari meninggalkan Cim yang tengah menyantap lahap jagung bakarnya.
Aku memantau mereka dari kejauhan, bukan tanpa sengaja aku duduk dalam mobil di sore ini lalu mengamati dan memahami tiap gerak-gerik mereka. Maghrib tiba, ditandai dengan lantunan muadzin yang suaranya telah menggema dari menara masjid di seberang taman. Aku menuju ketiganya, dua bocah ganteng dan seorang gadis kecil.
“Uli, yuk pulang.” Ajakku pada seorang gadis kecil.
“Oke yah. Kak Opek, Cim. Uli pulang duluan ya?” tanya anakku pada kedua bocah itu.
“Iya. Kita juga mau ke masjid. Hati-hati Uli, makasih jagung dan teh manisnya ya,” ujar Opek.
“Sama-sama” jawab Uli.
“Ini nak, untuk ibu di rumah. Nanti tolong berikan ke ibumu ya” Ujarku sembari memberikan plastik berisi sembako.
“Makasih Om” Jawab Cim sembari tersenyum membuat kedua matanya hilang oleh pipi bakpaonya.
“Om kok selalu baik sih sama kami?” Tanya Opek.
“Loh kenapa memang? Ah gak papa buruan ke masjid nak.” Ujarku sembari mengusap rambut Opek.
Opek lalu meraih tanganku, lalu mencium punggungnya diikuti oleh Cim. Mereka saling bertukar salam dengan Uli lalu berjalan menuju masjid Al-Hidayah. Senja diakhir pekan selalu begitu, bahkan aku telah hafal alur ceritanya.
Tetesan air mata membasahi pipinya, meresap dalam pori-pori sajadah terbalut oleh isakkan yang lalu lalang menggema dalam senyapnya malam. Witir terasa haru, beginilah adanya. Wanita berkepala empat itu bangun dari sujudnya, lalu meraih tasbih di kanan sajadah. Selang menit ke tiga puluh ia mengangat kedua tangannya sembari berujar lirih.
Dari balik selimut, lelaki kecil itu mengamati ibunya. Pandangan miliknya seakan menembus gelap kamar yang lampunya sengaja dimatikan oleh sang ibu. Anak itu meneteskan air mata, berdoa dalam hatinya.
“Ya Allah. Kembalikan senyum tulus ibu, kembalikan kebahagiaan kami.” Pintanya.
Wanita itu melipat rapi mukenah berenda hijau dan meletakkan di atas meja kayu. Hatinya memaksa membuka folder lama yang rutin dibuka, mengenang kejadian kelam yang telah meluluhlantakkan harmonis keluarganya.
Tergambar jelas di memorinya tiga tahun lalu, saat mereka berlima hendak jalan-jalan sore di kawasan Islamic centre, rencana indah itu hancur berkeping-keping ketika di persimpangan jalan ada dua motor yang tiba-tiba saja menghentikan mobil mereka. Yah pada masa itu begal memang banyak beraksi tak pandang siapapun yang lewat di jalan.
“Yaa Allah”
Ibu dua anak itu kemudian berteriak memecah witir yang tak lama lagi pergi berganti dengan subuh, Opek melompat dari persemayamannya lalu seketika berlari ke arah pintu kamar, tangannya meraba dinding tembok dan mencari sekring kamar itu. Opek mendapati ibunya tengah berpelukan dengan Cim, mereka bertiga kemudian menyatu dalam witir.
“Ibu.. Ibu kenapaa?” Tanya Cim sembari menangis
“Ibu ingat Allah bu.. Istighfar”
Tatapan mata sang ibu kosong tapi sarat akan kerinduan dan kasih sayang. Perempuan itu hingga kini masih terbayang kejadian hitam itu. Ketika suaminya meninggal ketika melawan para penyamun yang bersenjata itu, sementara bayi kecilnya yang cantik entah sekarang berada dimana. Serebrumnya mengatakan bahwa Eca, putri bungsunya dibawa oleh lelaki paruh baya yang menolong suaminya di rumah sakit, wajah lelaki itu masih tergambar jelas di ingatannya. Tapi dimana dia sekarang?
“Ibu, ajari kami ikhlas dan rela.” Opek mengiba di hadapan ibunya. Ibunya diam, terlihat mematung.
Dia menangis namun tak lagi terisak, ada ketenangan yang hadir bersama lantunan dzikirnya.
“Maafkan ibu, Nak.”
Lisannya telah berhenti membisu, perempuan itu mulai menampakkan senyum meski terlihat guratan pilu di wajahnya. Ia memeluk kedua anaknya.
“Ibu.. Nanti kami akan mencari Eca lagi bu.. Doakan kami bisa menemukan Eca, Bu.” Kata Cim dengan tatapan berbinar.
“Iya Bu.. Kita akan bawa Eca pulang.”
“Tidak usah sayang.. Ibu tidak ingin kita terus seperti ini.” Jawabnya sembari menarik napas dan membuang dengan paksa.
“Kita nanti ke makam Ayah yuk? Sudah lama kita tidak menemui Ayah.” Lanjutnya.
“Tapi Ecaa?”
“Sudah Opek. Segera ambil wudhu dan menuju masjid, jangan biarkan Allah menunggu kalian. Yuk Cim, ikut kakakmu sana. Ibu ambilkan sarung ya.”
“Baik bu.” Jawab kedua bocah itu hampir bersamaan.
Biarkan Allah yang menjaga Eca sayangg, ibu bangga memiliki anak seperti kalian. Ibu tidak ingin mengecawakan kalian, bisik sang ibu dalam hatinya.
Selalu ada semangat tersebab syukur ketika mentari kembali bersinar benderang di ufuk timur, ada secercah kasih yang nampak dari langkah perempuan itu.
“Sarapan pake nasi goreng kan bu?” tanya Cim.
“Iya sayang”
“Kakak telornya yang setengah mateng kan? Ini Cim ambilkan” lanjut bocah kecil berseragam TK itu.
“Iyaa.. Makasih Cim.” Jawab kakaknya.
“Bu, nanti sore kita jadi ke makam Ayah?” tanya Opek pada ibunya yang tengah mengaduk susu.
“InsyaAllah iya sayang.” Jawabnya sembari memberikan segelas susu pada kedua malaikat kecilnya.
Mereka tengah asik dengan semangat paginya, yang sesekali terdengar candaan dan tawa renyah dari ketiganya seolah telah melupakan kejadian witir tadi. Kuamati mereka dari balik pintu depan yang jendelanya terbuka. Hati memintaku untuk mengetuk pintu itu, tapi semakin hati meminta akalku selalu menang karena aku menurutinya. Ada rasa takut kehilangan, tapi
Akhirnya hatiku yang menang, bismillahirrohmaanirrohiimm..
“Waalaykumsalam iyaa sebentar” terdengar sahutan.
“Biar Cim saja yang buka, Bu.”
Kulihat bocah kecil itu meraih batang pintu yang sekitar tiga centi lebih tinggi dari tubuhnya.
“Loh, Om?” Ujarnya sembari mencium punggung tanganku dan menariknya masuk ke dalam rumah.
“Kak Opek ada ayahnya Uli nih.”
“Siapa sayang?” Tanya perempuan yang bukan lain adalah ibu mereka.
Aku melangkah pelan mengikuti Cim. Ada ekspresi yang sangat bisa kutafsirkan dari perempuan yang anaknya telah aku pinjam selama ini. Perempuan itu mengerutkan dahi seolah berpikir keras.
Lebih dari tiga tahun lamanya, kala riuh kendaraan mulai terdengar, mereka selalu terjun ke jalan pinggiran taman bukan untuk mengemis, bukan. Bukan untuk mengamen, bukan. Bukan untuk berjualan, bukan. Mereka tengah mencari obat rindu sejak tiga tahun silam hingga kini, hingga badut-badut liar tidak lagi boleh masuk ke taman kota.
“Cim, mana Kak Opek?” tanya gadis kecil pada bocah ganteng bermata bulat itu.
“Itu di seberang kolam.” Jawab Cim sembari menunjuk pada arah yang dimaksud.
“Gimana? Sudah ketemu?” tanya gadis kecil itu kemudian.
“Belum. Mereka tak mengenal Eca, bahkan pernah melihat pun tidak.” Jawab Cim sembari menatap foto dalam pamflet yang di bawanya.
“Yasudah, jangan menyerah. Nih, makan jagung bakar dulu.” Kata gadis kecil itu sembari memberikan jagung bakar yang harumnya menusuk hidung.
“Pedas manis kan Li? Hemm.. sedapnyaa” Ujar Cim sembari mendekatkan jagung yang dipegang ke hidungnya.
“Iya. Aku sangat tahu kesukaanmu. Cim tunggu di sini ya, Uli mau cari kak Opek dulu.” Kata gadis kecil itu sembari meninggalkan Cim yang tengah menyantap lahap jagung bakarnya.
Aku memantau mereka dari kejauhan, bukan tanpa sengaja aku duduk dalam mobil di sore ini lalu mengamati dan memahami tiap gerak-gerik mereka. Maghrib tiba, ditandai dengan lantunan muadzin yang suaranya telah menggema dari menara masjid di seberang taman. Aku menuju ketiganya, dua bocah ganteng dan seorang gadis kecil.
“Uli, yuk pulang.” Ajakku pada seorang gadis kecil.
“Oke yah. Kak Opek, Cim. Uli pulang duluan ya?” tanya anakku pada kedua bocah itu.
“Iya. Kita juga mau ke masjid. Hati-hati Uli, makasih jagung dan teh manisnya ya,” ujar Opek.
“Sama-sama” jawab Uli.
“Ini nak, untuk ibu di rumah. Nanti tolong berikan ke ibumu ya” Ujarku sembari memberikan plastik berisi sembako.
“Makasih Om” Jawab Cim sembari tersenyum membuat kedua matanya hilang oleh pipi bakpaonya.
“Om kok selalu baik sih sama kami?” Tanya Opek.
“Loh kenapa memang? Ah gak papa buruan ke masjid nak.” Ujarku sembari mengusap rambut Opek.
Opek lalu meraih tanganku, lalu mencium punggungnya diikuti oleh Cim. Mereka saling bertukar salam dengan Uli lalu berjalan menuju masjid Al-Hidayah. Senja diakhir pekan selalu begitu, bahkan aku telah hafal alur ceritanya.
Tetesan air mata membasahi pipinya, meresap dalam pori-pori sajadah terbalut oleh isakkan yang lalu lalang menggema dalam senyapnya malam. Witir terasa haru, beginilah adanya. Wanita berkepala empat itu bangun dari sujudnya, lalu meraih tasbih di kanan sajadah. Selang menit ke tiga puluh ia mengangat kedua tangannya sembari berujar lirih.
Dari balik selimut, lelaki kecil itu mengamati ibunya. Pandangan miliknya seakan menembus gelap kamar yang lampunya sengaja dimatikan oleh sang ibu. Anak itu meneteskan air mata, berdoa dalam hatinya.
“Ya Allah. Kembalikan senyum tulus ibu, kembalikan kebahagiaan kami.” Pintanya.
Wanita itu melipat rapi mukenah berenda hijau dan meletakkan di atas meja kayu. Hatinya memaksa membuka folder lama yang rutin dibuka, mengenang kejadian kelam yang telah meluluhlantakkan harmonis keluarganya.
Tergambar jelas di memorinya tiga tahun lalu, saat mereka berlima hendak jalan-jalan sore di kawasan Islamic centre, rencana indah itu hancur berkeping-keping ketika di persimpangan jalan ada dua motor yang tiba-tiba saja menghentikan mobil mereka. Yah pada masa itu begal memang banyak beraksi tak pandang siapapun yang lewat di jalan.
“Yaa Allah”
Ibu dua anak itu kemudian berteriak memecah witir yang tak lama lagi pergi berganti dengan subuh, Opek melompat dari persemayamannya lalu seketika berlari ke arah pintu kamar, tangannya meraba dinding tembok dan mencari sekring kamar itu. Opek mendapati ibunya tengah berpelukan dengan Cim, mereka bertiga kemudian menyatu dalam witir.
“Ibu.. Ibu kenapaa?” Tanya Cim sembari menangis
“Ibu ingat Allah bu.. Istighfar”
Tatapan mata sang ibu kosong tapi sarat akan kerinduan dan kasih sayang. Perempuan itu hingga kini masih terbayang kejadian hitam itu. Ketika suaminya meninggal ketika melawan para penyamun yang bersenjata itu, sementara bayi kecilnya yang cantik entah sekarang berada dimana. Serebrumnya mengatakan bahwa Eca, putri bungsunya dibawa oleh lelaki paruh baya yang menolong suaminya di rumah sakit, wajah lelaki itu masih tergambar jelas di ingatannya. Tapi dimana dia sekarang?
“Ibu, ajari kami ikhlas dan rela.” Opek mengiba di hadapan ibunya. Ibunya diam, terlihat mematung.
Dia menangis namun tak lagi terisak, ada ketenangan yang hadir bersama lantunan dzikirnya.
“Maafkan ibu, Nak.”
Lisannya telah berhenti membisu, perempuan itu mulai menampakkan senyum meski terlihat guratan pilu di wajahnya. Ia memeluk kedua anaknya.
“Ibu.. Nanti kami akan mencari Eca lagi bu.. Doakan kami bisa menemukan Eca, Bu.” Kata Cim dengan tatapan berbinar.
“Iya Bu.. Kita akan bawa Eca pulang.”
“Tidak usah sayang.. Ibu tidak ingin kita terus seperti ini.” Jawabnya sembari menarik napas dan membuang dengan paksa.
“Kita nanti ke makam Ayah yuk? Sudah lama kita tidak menemui Ayah.” Lanjutnya.
“Tapi Ecaa?”
“Sudah Opek. Segera ambil wudhu dan menuju masjid, jangan biarkan Allah menunggu kalian. Yuk Cim, ikut kakakmu sana. Ibu ambilkan sarung ya.”
“Baik bu.” Jawab kedua bocah itu hampir bersamaan.
Biarkan Allah yang menjaga Eca sayangg, ibu bangga memiliki anak seperti kalian. Ibu tidak ingin mengecawakan kalian, bisik sang ibu dalam hatinya.
Selalu ada semangat tersebab syukur ketika mentari kembali bersinar benderang di ufuk timur, ada secercah kasih yang nampak dari langkah perempuan itu.
“Sarapan pake nasi goreng kan bu?” tanya Cim.
“Iya sayang”
“Kakak telornya yang setengah mateng kan? Ini Cim ambilkan” lanjut bocah kecil berseragam TK itu.
“Iyaa.. Makasih Cim.” Jawab kakaknya.
“Bu, nanti sore kita jadi ke makam Ayah?” tanya Opek pada ibunya yang tengah mengaduk susu.
“InsyaAllah iya sayang.” Jawabnya sembari memberikan segelas susu pada kedua malaikat kecilnya.
Mereka tengah asik dengan semangat paginya, yang sesekali terdengar candaan dan tawa renyah dari ketiganya seolah telah melupakan kejadian witir tadi. Kuamati mereka dari balik pintu depan yang jendelanya terbuka. Hati memintaku untuk mengetuk pintu itu, tapi semakin hati meminta akalku selalu menang karena aku menurutinya. Ada rasa takut kehilangan, tapi
Akhirnya hatiku yang menang, bismillahirrohmaanirrohiimm..
“Waalaykumsalam iyaa sebentar” terdengar sahutan.
“Biar Cim saja yang buka, Bu.”
Kulihat bocah kecil itu meraih batang pintu yang sekitar tiga centi lebih tinggi dari tubuhnya.
“Loh, Om?” Ujarnya sembari mencium punggung tanganku dan menariknya masuk ke dalam rumah.
“Kak Opek ada ayahnya Uli nih.”
“Siapa sayang?” Tanya perempuan yang bukan lain adalah ibu mereka.
Aku melangkah pelan mengikuti Cim. Ada ekspresi yang sangat bisa kutafsirkan dari perempuan yang anaknya telah aku pinjam selama ini. Perempuan itu mengerutkan dahi seolah berpikir keras.