Nasib Sekolah Rajabasa Lampung Hampir Tutup, Cerpen
Sabtu, 29 Februari 2020
Edit
Di sebuah desa di daerah Rajabasa, Lampung, terdapat sekolah menengah atas dengan fasilitas yang jauh dari kata layak. Bangku-bangku reot, meja penuh dengan gambar-gambar wajah yang dihiasi tipe x, dan papan tulis yang masih pakai kapur.
Namun, ada yang lain dari sekolah ini yang membuat spesial, bukan karena lengkapnya fasilitas, wifi corner, kantin dan lain sebagainya. Melainkan murid-muridnya yang senantiasa melemparkan senyuman di kala menerima pelajaran. Guru-guru di sini hanya ada dua, Pak Jul dan Bu Sastro.
Mereka hanya berdua mengajar siswa kelas 3 SMA yang terakhir di sana. Sebab sejak tahun 2014, sekolah tersebut tidak mendapatkan murid lagi, tersisa 8 siswa dan 10 siswi di desa itu yang bersekolah.
Prestasi-prestasi sekolah di desa ini masih berbanding terbalik dengan keadaaanya, murid di sini menyenangi pelajaran matematika, biologi, sejarah, ekonomi yang di dalam satu kelas, memiliki bakat untuk menang dalam setiap perlombaan yang ada di bandarlampung.
Salah satu murid di SMA itu ialah Niken. Ia merupakan anak dari petani kopi di daerah rajabasa dengan mengandalkan hasil keringat orang tua dan dirinya.
Ia bersekolah di SMA Rajabasa itu untuk memenuhi hasratnya melihat bagaimana desanya berkembang ke arah yang lebih baik, tidak hanya prestasi akademiknya saja yang baik, tetapi tingkah laku ketimuran Niken sangat baik. Ia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya dan senantiasa belajar bersama dengan teman-temannya di kala senggang sebelum sampai waktu petang.
Setiap hari, sebelum berangkat ke sekolah, Niken membuat donat dari bahan Ubi Jalar untuk dijual dengan kawan-kawannya sembari mengumpulkan ilmu untuk masa depannya. Ia bertekad untuk melanjutkan kuliah untuk memperbaiki pendidikan di desanya, karena ia tahu, bahwa sekolah yang sekarang ia tinggali, masih kekurangan banyak guru, toh ia hanya dibelajarkan oleh dua orang guru yang harus membelajarkan beberapa macam pelajaran dalam satu hari.
Ini dirasa olehnya bukan tidak mungkin, sekolahnya akan tutup bila terus menerus dibiarkan seperti ini. Setiap waktu dan setiap hari ia belajar, demi impiannya untuk membelajarkan hal-hal baru pada muridnya. Pak Jul dan Bu. Sastro sangat mengetahui keinginan mulia Niken untuk memajukan sekolah ini.
Namun sayang, sekolah ini, apabila tidak mendapatkan siswa lagi. Izin berdirinya di rajabasa akan dicabut dan para siswa-siswi SMP yang ingin melanjutkan bersekolah, akan terpaksa putus sekolah.
Terlebih lagi, karena akses SMA terdekat di desanya hanya SMA Rajabasa, sementara sekolah menengah lainnya harus menempuh jarak 40 KM, sangatlah jauh. Banyak siswa yang mulai khawatir bahkan ada yang tidak peduli. Orang-orang di sana masih banyak beranggapan bahwa sekolah itu cukuplah sampai SMP, untuk belajar membaca dan menulis. Tetapi, sejatinya pendidikan itu bukan bagaimana menulis dan membaca saja, melainkan berpikir maju untuk menjalani proses kehidupan dengan belajar.
Hari-hari berlalu, upaya Niken dan teman-teman untuk meyakinkan para ibu dan bapak di desa yang memiliki anak yang sudah siap bersekolah tersebut gencar dilakukan. Awalnya mereka mengaku merasa tidak sanggup untuk membiayai sekolah anaknya bila lanjut ke SMA bahkan dengan alasan ini.
Niken dan Kawan-kawan meyakinkan bahwa sekolah siap untuk melaksanakan pembelajaran dengan biaya seikhlasnya, terlebih, dengan adanya BOS yang masuk, sekolah merasa tidak keberatan untuk menampung siswa yang ingin bersekolah di sini. Akhirnya beberapa orang tua ingin mendaftarkan anaknya, ada pula yang bersikukuh untuk tetap langsung menikahkan anaknya pada saat lulus SMP.
Sungguh potret desa yang masih kental akan kekolotan. Usia SMP di jaman ini bukan saatnya untuk menikah, melainkan memiliki keterampilan untuk menunjang aktivitas, namun masih banyak yang terjebak dengan tradisi pernikahan muda, perjodohan misalnya. Lambat namun pasti, Niken dan Kawan-kawan berhasil mengumpulkan beberapa calon murid untuk bersekolah di SMA Rajabasa. Tepat saat komite sekolah datang, yang saat itu ingin membubarkan sekolah secara resmi.
Niken menunjukkan bahwa di desa ini, tidak hanya tinggal “kami” yang ingin bersekolah, melainkan anak-anak lain. Memang banyak anak yang masih terkungkung tradisi, namun masih pula ada anak yang ingin mencicipi bangku sekolah menengah atas. “Mereka bukan tidak ingin, namun seperti jalan mereka ditutup” , tutur Niken.
ketua komite akhirnya menyetujui untuk membatalkan penutupan secara resmi SMA Rajabasa ini mimpi yang selama ini ia idamkan. Setiap anak berhak mendapatkan fasilitas yang layak untuk belajar sekarang terwujudlah bila sama yang lain “sungguh menolong bila semuanya sama, terima kasih Tuhan” Ucapnya dalam hati.
Namun, ada yang lain dari sekolah ini yang membuat spesial, bukan karena lengkapnya fasilitas, wifi corner, kantin dan lain sebagainya. Melainkan murid-muridnya yang senantiasa melemparkan senyuman di kala menerima pelajaran. Guru-guru di sini hanya ada dua, Pak Jul dan Bu Sastro.
Prestasi-prestasi sekolah di desa ini masih berbanding terbalik dengan keadaaanya, murid di sini menyenangi pelajaran matematika, biologi, sejarah, ekonomi yang di dalam satu kelas, memiliki bakat untuk menang dalam setiap perlombaan yang ada di bandarlampung.
Salah satu murid di SMA itu ialah Niken. Ia merupakan anak dari petani kopi di daerah rajabasa dengan mengandalkan hasil keringat orang tua dan dirinya.
Ia bersekolah di SMA Rajabasa itu untuk memenuhi hasratnya melihat bagaimana desanya berkembang ke arah yang lebih baik, tidak hanya prestasi akademiknya saja yang baik, tetapi tingkah laku ketimuran Niken sangat baik. Ia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya dan senantiasa belajar bersama dengan teman-temannya di kala senggang sebelum sampai waktu petang.
Setiap hari, sebelum berangkat ke sekolah, Niken membuat donat dari bahan Ubi Jalar untuk dijual dengan kawan-kawannya sembari mengumpulkan ilmu untuk masa depannya. Ia bertekad untuk melanjutkan kuliah untuk memperbaiki pendidikan di desanya, karena ia tahu, bahwa sekolah yang sekarang ia tinggali, masih kekurangan banyak guru, toh ia hanya dibelajarkan oleh dua orang guru yang harus membelajarkan beberapa macam pelajaran dalam satu hari.
Ini dirasa olehnya bukan tidak mungkin, sekolahnya akan tutup bila terus menerus dibiarkan seperti ini. Setiap waktu dan setiap hari ia belajar, demi impiannya untuk membelajarkan hal-hal baru pada muridnya. Pak Jul dan Bu. Sastro sangat mengetahui keinginan mulia Niken untuk memajukan sekolah ini.
Namun sayang, sekolah ini, apabila tidak mendapatkan siswa lagi. Izin berdirinya di rajabasa akan dicabut dan para siswa-siswi SMP yang ingin melanjutkan bersekolah, akan terpaksa putus sekolah.
Terlebih lagi, karena akses SMA terdekat di desanya hanya SMA Rajabasa, sementara sekolah menengah lainnya harus menempuh jarak 40 KM, sangatlah jauh. Banyak siswa yang mulai khawatir bahkan ada yang tidak peduli. Orang-orang di sana masih banyak beranggapan bahwa sekolah itu cukuplah sampai SMP, untuk belajar membaca dan menulis. Tetapi, sejatinya pendidikan itu bukan bagaimana menulis dan membaca saja, melainkan berpikir maju untuk menjalani proses kehidupan dengan belajar.
Hari-hari berlalu, upaya Niken dan teman-teman untuk meyakinkan para ibu dan bapak di desa yang memiliki anak yang sudah siap bersekolah tersebut gencar dilakukan. Awalnya mereka mengaku merasa tidak sanggup untuk membiayai sekolah anaknya bila lanjut ke SMA bahkan dengan alasan ini.
Niken dan Kawan-kawan meyakinkan bahwa sekolah siap untuk melaksanakan pembelajaran dengan biaya seikhlasnya, terlebih, dengan adanya BOS yang masuk, sekolah merasa tidak keberatan untuk menampung siswa yang ingin bersekolah di sini. Akhirnya beberapa orang tua ingin mendaftarkan anaknya, ada pula yang bersikukuh untuk tetap langsung menikahkan anaknya pada saat lulus SMP.
Sungguh potret desa yang masih kental akan kekolotan. Usia SMP di jaman ini bukan saatnya untuk menikah, melainkan memiliki keterampilan untuk menunjang aktivitas, namun masih banyak yang terjebak dengan tradisi pernikahan muda, perjodohan misalnya. Lambat namun pasti, Niken dan Kawan-kawan berhasil mengumpulkan beberapa calon murid untuk bersekolah di SMA Rajabasa. Tepat saat komite sekolah datang, yang saat itu ingin membubarkan sekolah secara resmi.
Niken menunjukkan bahwa di desa ini, tidak hanya tinggal “kami” yang ingin bersekolah, melainkan anak-anak lain. Memang banyak anak yang masih terkungkung tradisi, namun masih pula ada anak yang ingin mencicipi bangku sekolah menengah atas. “Mereka bukan tidak ingin, namun seperti jalan mereka ditutup” , tutur Niken.
ketua komite akhirnya menyetujui untuk membatalkan penutupan secara resmi SMA Rajabasa ini mimpi yang selama ini ia idamkan. Setiap anak berhak mendapatkan fasilitas yang layak untuk belajar sekarang terwujudlah bila sama yang lain “sungguh menolong bila semuanya sama, terima kasih Tuhan” Ucapnya dalam hati.