Suasana Hujan yang Menyenangkan, Cerpen
Minggu, 23 Februari 2020
Edit
Setiap kali aku mengingat tentang dirinya, tanganku seperti kereta yang melaju pada jalurnya. Begitu cepat, teratur, serta bising dengan untaian syair sendu, namun bagiku begitu menyenangkan. Memang tidak habis imajinasiku untuk mendeskripsikan sosoknya. Senyumku sulit padam bila menguraikan tiap jengkal indahnya.
Meskipun yang aku dengar hanya sebuah nama yaitu Hanum, tetapi polahku sudah seperti gadis kecil yang disodorkan balon atau sebuah permen. Ketika namanya hadir di layar yang bersanding dengan gambar amplop khas berwarna kuning, tanganku dengan cepat meraih dan langsung menyusun deretan kata. Lalu kata itu kuhapus dan kuperbaiki agar terlihat sempurna saat ia baca. Tetapi kadang aku tersadar bahwa dia juga tidak mungkin terkagum.
“Assalamu’alaikum MISS UNIK?” sapanya lewat pesan singkat.
“Walaikumsallam Hanum, kok manggilnya gitu?” balasku heran.
“Gak papa, aku sekarang manggilnya gitu ya, hehe ...”.
“Haha, kenapa sih harus ‘miss unik’? balasku dengan penasaran.
“Kamu aneh, kamu beda, dan aku suka haha ...” balasnya lagi dengan ringan.
Meskipun panggilan-panggilan pesan itu terlihat penuh bualan, tetapi kehadirannya seperti kehadirannya yang seperti terpaan bayu berhasil membuatku sedikit meringis kegirangan. Aku dan Hanum adalah teman curhat yang dipertemukan dengan cara konyol namun lazim terjadi.
Aku tak dapat memaparkan kronologi pertemuan kami, karena begitu memalukan meskipun berkesan. Pesan-pesan singkat yang kadang ia selipkan lelucon yang menurutku sangat garing, tetapi memberikan stimulus tersendiri bagi daya tahan hidupku menjalani hari.
Sampai suatu ketika sderet pesan itu menyentak pikiranku untuk menarik sebuah kesimpulan. Hanum mulai mahir memainkan bualan-bualan. Ia selalu berhasil menyita perhatianku dengan pesannya. Ini hal sederhana, tetapi ketika dijalani aku yakin hidup dua insan yang berlainan jenis akan merasa istimewa bila ada terpaan kasih sayang yang hadir.
Selama ini kami bersahabat, dia tidak hanya tempatku menuangkan bahagia, sedih, keluhan, namu juga sebagai pelawak saat aku haus hiburan. Persahabatan kami berakhir ketika usianya menginjak satu tahun. Dia pergi dan datang sebagai pria yang “katanya” akan membahagiakanku selamanya. Namun, aku pun tercengan karena hatiku tak berdebar sedikit pun.
Gelar yang baru saja aku sandang ini membuatku merasa ingin lepas tetapi makin erat menggenggam. Aku baru saja menerima permintaannya saat mengajakku berganti dari sahabat menjadi kekasih. Menggelikan sekali saat aku membayangkan jawabanku, meskipun hanya dengan anggukan. Dia tammpak mengembangkan senyum tanpa meninggalkan gingsul yang termanis. Pipinya merona membuatku terpana.
“Asiik!! Abis ini langsung aku bilang sama temen-temen” teriaknya seperti bocah.
“Lebay sih Num, malu loh aku” tukasku ketus.
“Bodo amat yang penting aku bahagia” tegasnya.
“Dih udahlah sana pergi hus! Hus!” ledekku padanya.
“Beneran? Awas kangen ngusir-ngusir” jawabnya dengan ringan.
Seteah kejadian pagi itu, aku terus memandang langit-langit kamar yang tampak berganti wajah Hanum. Aku tertawa geli namun bahagia sekali. Terakhir dia pamit untuk pergi menemui teman, tetapi berjam-jam berlalu tak ada pesan satupun.
Aku yang biasanya tanpa malu mengebomnya dengan pesan, tetapi kali ini aku jadi canggung. Mungkin karena status baru aku jadi terbelenggu gengsi. Sampai aku lelah menunggu dan akhirnya terpejam memeluk guling tersayang. Pagi ini terasa berbeda, begitu cerah meskipun nyatanya agak gelap. Aku bercermin dan tersenyum menyadari bahwa aku tak lagi sendiri.
Aku menyibakkan rambut dan bergegas mandi untuk pergi ke sekolah. Kusempatkan mengecek handphone untuk melihat pesannya. Tapi pupus, tak kudapati gambar amplop kuning dalam layar handphone. Bahkan hal tersebut berlangsung berminggu-minggu.
Aku yang setia menatap layar kaca, tetapi dia temaran ditelan pergantian waktu. Aku sudah bosan bersanding dengan gengsi akhirnya memuncak dan mengirimi Hanum pesan berbada amarah. Padahal, hanya beberapa hari lagi kami menginjak usia satu bulan sebagai sepasang kekasih. Hari yang sakral bagi wanita yang wajib diingat pria. Ocehanku makin tak terbendng saat ia tak kunjung membalas. Aku letakkan benda yang menjadi perantara amplopku dan Hanum. Merpati masa kini biasa aku menyebutnya.
“Kenapa? Aku lagi sibuk tolong ngertiin geh!” balasnya ketus.
“Harusnya aku yang marah bukannya kamu!” tegasku.
“Maaf aku bukan cowok yang bisa selalu ada buat kamu” balasnya.
Pesan-pesan yang aku kirim selalu berbuah bentakan yang ringan tetapi menghujam. Aku yang tadinya bersahabat dengan gengsi telah menjelma menjadi perempuan yang tak dapat menahan hasrat untuk terus mencecarnya dengan pesan-pesan kekhawatiran.
Aku yang awalnya tak sengaja merubah status dengan Hanum kini terlihat lebih agresif. Betapa tidak aku seperti ini jika ia terus memberiku kepingan perih. Tetapi saat kami menjadwalkan pertemuan, kami selalu bertatapan tanpa memperlihatkan permasalahan yang ada. Lebih tepatnya dia, bukan kami. Bahkan aku bingung, saat kembali ke rumah dia kembali menjadi musuh.
Tak ada kabar sedikit pun yang membuatku merasa tenang. Lalu aku ia anggap samar-samar atau memang sudah memudar. Setiap malam aku tak dapat membendung air mata. Ya, aku kehilangan sosoknya yang menentramkan. Kini dia seperti pisau yang setiap saat dapat menikam kegelisahanku.
ika waktu dapat kuajak mundur kembali, maka Hanum akan tetap menyandang sebagai sahabat. Tapi tampaknya aku dipayungi drama pertelevisian, aku baru sadar sedang memainkan lakon yang sering aku bodoh-bodohkan saat sinetron berlangsung. Aku sekarang tampak lebih bodoh dari keseluruhannya. Hanum entah sedang menjalani apa dan membiarkanku remuk perlahan yang mungkin tak dapat ia satukan. Ia menggenggamku dalam bahagia yang fana, tetapi tak mau melepaskan untuk sekedar membiarkanku bernafas lega.
Hari ini 22 Februari 2013, kami akan bertemu. Bukan untuk menjelaskan mengapa ia tak pernah mengabariku, tetapi aku memintanya menjemputku di sekolah untuk hal lain. Hari ini ulang tahun Hanum. Aku memberikan benda yang sedari tadi kutenteng. Sebuah hadiah penuh ketulusan yang tak pernah aku berikan pada laki-laki lain sebelumnya. Bukan karena harganya, melainkan cerita dibalik benda ini. Sebuah jaket berwarna biru muda, warna yang tak Hanum sukai.
Aku ingin menyampaikan pesan dengan media berbeda, bahwa hal lain yang ia benci merupakan hal pengantar rindu. Nampaknya ia tersenyum dan sangat berterimakasih atas hadiah ini. Entahlah, mungkin bentuk kamuflase, tetapi aku bahagia melihat senyumnya.
“Minggu ini aku pergi ke laut mau observasi” lapornya manis.
“Hati-hati ya Num, awas mata dijaga haha ...” jawabku.
“Haha ... siap unik! Kalo ada fotoku sama cewek pokoknya dia temen” jelasnyadengan penuh keyakinan.
Aku telah terbiasa tanpa kabar Hanum, selepas ia melaksanakan observasi pun aku tetap tak diberi kabar. Kubuka media sosial yang kekininian pada saat itu. media sosial yang tak termakan zaman, facebook namanya. Ketika beranda mulai brmunculan foto-foto para penggunanya, aku tertampar menatap Hanum merangkul wanita cantik dengan menggunakan kacamata yang senada dengannya. Kukirimi Hanum pesan yang sangat panjang, kukeluarkan makianku padanya.
Aku tak menelfonnya, karena kurasa ia telah enggan dengan segala hal yang berbau denganku. Aku menangis tanpa peduli dengan kebodohan yang nyata ini. Aku memintanya menyudahi semua dan tanpa menahanku, dia begitu cepat menyetujui akhir status ini.
Mengapa langit selalu bersepakat pada awan untuk mengantarkan cerita berwujud hujan. Aku suka sejuknya, tetapi ketika hujan datang sebagai pemberhentian kisahku, maka reda tak akan membantu.
Begitu pula dengan aku yang sekarang, menatap layar dengan rentetan tanya yang berjejalan dalam hati. Amplop yang biasanya hadir dengan aroma merah muda telah lapuk bersama hujan yang entah darimana datangnya. Hujan yang asing bagiku, tetapi tidak untuk Hanumku.
Hujan itu menciptakan kisah di atas rajutanku yang sedang terbengkalai. Hujan itu tak berperasaan, menjemput Hanumku tanpa berpamitan. Hujan itu menghujani taman bungaku, hadir membawa air yang mematikan. Pesan Hanum hadir, “Aku tetap sayang, aku tidak pernah menduakanmu”.
Meskipun yang aku dengar hanya sebuah nama yaitu Hanum, tetapi polahku sudah seperti gadis kecil yang disodorkan balon atau sebuah permen. Ketika namanya hadir di layar yang bersanding dengan gambar amplop khas berwarna kuning, tanganku dengan cepat meraih dan langsung menyusun deretan kata. Lalu kata itu kuhapus dan kuperbaiki agar terlihat sempurna saat ia baca. Tetapi kadang aku tersadar bahwa dia juga tidak mungkin terkagum.
“Walaikumsallam Hanum, kok manggilnya gitu?” balasku heran.
“Gak papa, aku sekarang manggilnya gitu ya, hehe ...”.
“Haha, kenapa sih harus ‘miss unik’? balasku dengan penasaran.
“Kamu aneh, kamu beda, dan aku suka haha ...” balasnya lagi dengan ringan.
Meskipun panggilan-panggilan pesan itu terlihat penuh bualan, tetapi kehadirannya seperti kehadirannya yang seperti terpaan bayu berhasil membuatku sedikit meringis kegirangan. Aku dan Hanum adalah teman curhat yang dipertemukan dengan cara konyol namun lazim terjadi.
Aku tak dapat memaparkan kronologi pertemuan kami, karena begitu memalukan meskipun berkesan. Pesan-pesan singkat yang kadang ia selipkan lelucon yang menurutku sangat garing, tetapi memberikan stimulus tersendiri bagi daya tahan hidupku menjalani hari.
Sampai suatu ketika sderet pesan itu menyentak pikiranku untuk menarik sebuah kesimpulan. Hanum mulai mahir memainkan bualan-bualan. Ia selalu berhasil menyita perhatianku dengan pesannya. Ini hal sederhana, tetapi ketika dijalani aku yakin hidup dua insan yang berlainan jenis akan merasa istimewa bila ada terpaan kasih sayang yang hadir.
Selama ini kami bersahabat, dia tidak hanya tempatku menuangkan bahagia, sedih, keluhan, namu juga sebagai pelawak saat aku haus hiburan. Persahabatan kami berakhir ketika usianya menginjak satu tahun. Dia pergi dan datang sebagai pria yang “katanya” akan membahagiakanku selamanya. Namun, aku pun tercengan karena hatiku tak berdebar sedikit pun.
Gelar yang baru saja aku sandang ini membuatku merasa ingin lepas tetapi makin erat menggenggam. Aku baru saja menerima permintaannya saat mengajakku berganti dari sahabat menjadi kekasih. Menggelikan sekali saat aku membayangkan jawabanku, meskipun hanya dengan anggukan. Dia tammpak mengembangkan senyum tanpa meninggalkan gingsul yang termanis. Pipinya merona membuatku terpana.
“Asiik!! Abis ini langsung aku bilang sama temen-temen” teriaknya seperti bocah.
“Lebay sih Num, malu loh aku” tukasku ketus.
“Bodo amat yang penting aku bahagia” tegasnya.
“Dih udahlah sana pergi hus! Hus!” ledekku padanya.
“Beneran? Awas kangen ngusir-ngusir” jawabnya dengan ringan.
Seteah kejadian pagi itu, aku terus memandang langit-langit kamar yang tampak berganti wajah Hanum. Aku tertawa geli namun bahagia sekali. Terakhir dia pamit untuk pergi menemui teman, tetapi berjam-jam berlalu tak ada pesan satupun.
Aku yang biasanya tanpa malu mengebomnya dengan pesan, tetapi kali ini aku jadi canggung. Mungkin karena status baru aku jadi terbelenggu gengsi. Sampai aku lelah menunggu dan akhirnya terpejam memeluk guling tersayang. Pagi ini terasa berbeda, begitu cerah meskipun nyatanya agak gelap. Aku bercermin dan tersenyum menyadari bahwa aku tak lagi sendiri.
Aku menyibakkan rambut dan bergegas mandi untuk pergi ke sekolah. Kusempatkan mengecek handphone untuk melihat pesannya. Tapi pupus, tak kudapati gambar amplop kuning dalam layar handphone. Bahkan hal tersebut berlangsung berminggu-minggu.
Aku yang setia menatap layar kaca, tetapi dia temaran ditelan pergantian waktu. Aku sudah bosan bersanding dengan gengsi akhirnya memuncak dan mengirimi Hanum pesan berbada amarah. Padahal, hanya beberapa hari lagi kami menginjak usia satu bulan sebagai sepasang kekasih. Hari yang sakral bagi wanita yang wajib diingat pria. Ocehanku makin tak terbendng saat ia tak kunjung membalas. Aku letakkan benda yang menjadi perantara amplopku dan Hanum. Merpati masa kini biasa aku menyebutnya.
“Kenapa? Aku lagi sibuk tolong ngertiin geh!” balasnya ketus.
“Harusnya aku yang marah bukannya kamu!” tegasku.
“Maaf aku bukan cowok yang bisa selalu ada buat kamu” balasnya.
Pesan-pesan yang aku kirim selalu berbuah bentakan yang ringan tetapi menghujam. Aku yang tadinya bersahabat dengan gengsi telah menjelma menjadi perempuan yang tak dapat menahan hasrat untuk terus mencecarnya dengan pesan-pesan kekhawatiran.
Aku yang awalnya tak sengaja merubah status dengan Hanum kini terlihat lebih agresif. Betapa tidak aku seperti ini jika ia terus memberiku kepingan perih. Tetapi saat kami menjadwalkan pertemuan, kami selalu bertatapan tanpa memperlihatkan permasalahan yang ada. Lebih tepatnya dia, bukan kami. Bahkan aku bingung, saat kembali ke rumah dia kembali menjadi musuh.
Tak ada kabar sedikit pun yang membuatku merasa tenang. Lalu aku ia anggap samar-samar atau memang sudah memudar. Setiap malam aku tak dapat membendung air mata. Ya, aku kehilangan sosoknya yang menentramkan. Kini dia seperti pisau yang setiap saat dapat menikam kegelisahanku.
ika waktu dapat kuajak mundur kembali, maka Hanum akan tetap menyandang sebagai sahabat. Tapi tampaknya aku dipayungi drama pertelevisian, aku baru sadar sedang memainkan lakon yang sering aku bodoh-bodohkan saat sinetron berlangsung. Aku sekarang tampak lebih bodoh dari keseluruhannya. Hanum entah sedang menjalani apa dan membiarkanku remuk perlahan yang mungkin tak dapat ia satukan. Ia menggenggamku dalam bahagia yang fana, tetapi tak mau melepaskan untuk sekedar membiarkanku bernafas lega.
Hari ini 22 Februari 2013, kami akan bertemu. Bukan untuk menjelaskan mengapa ia tak pernah mengabariku, tetapi aku memintanya menjemputku di sekolah untuk hal lain. Hari ini ulang tahun Hanum. Aku memberikan benda yang sedari tadi kutenteng. Sebuah hadiah penuh ketulusan yang tak pernah aku berikan pada laki-laki lain sebelumnya. Bukan karena harganya, melainkan cerita dibalik benda ini. Sebuah jaket berwarna biru muda, warna yang tak Hanum sukai.
Aku ingin menyampaikan pesan dengan media berbeda, bahwa hal lain yang ia benci merupakan hal pengantar rindu. Nampaknya ia tersenyum dan sangat berterimakasih atas hadiah ini. Entahlah, mungkin bentuk kamuflase, tetapi aku bahagia melihat senyumnya.
“Minggu ini aku pergi ke laut mau observasi” lapornya manis.
“Hati-hati ya Num, awas mata dijaga haha ...” jawabku.
“Haha ... siap unik! Kalo ada fotoku sama cewek pokoknya dia temen” jelasnyadengan penuh keyakinan.
Aku telah terbiasa tanpa kabar Hanum, selepas ia melaksanakan observasi pun aku tetap tak diberi kabar. Kubuka media sosial yang kekininian pada saat itu. media sosial yang tak termakan zaman, facebook namanya. Ketika beranda mulai brmunculan foto-foto para penggunanya, aku tertampar menatap Hanum merangkul wanita cantik dengan menggunakan kacamata yang senada dengannya. Kukirimi Hanum pesan yang sangat panjang, kukeluarkan makianku padanya.
Aku tak menelfonnya, karena kurasa ia telah enggan dengan segala hal yang berbau denganku. Aku menangis tanpa peduli dengan kebodohan yang nyata ini. Aku memintanya menyudahi semua dan tanpa menahanku, dia begitu cepat menyetujui akhir status ini.
Mengapa langit selalu bersepakat pada awan untuk mengantarkan cerita berwujud hujan. Aku suka sejuknya, tetapi ketika hujan datang sebagai pemberhentian kisahku, maka reda tak akan membantu.
Begitu pula dengan aku yang sekarang, menatap layar dengan rentetan tanya yang berjejalan dalam hati. Amplop yang biasanya hadir dengan aroma merah muda telah lapuk bersama hujan yang entah darimana datangnya. Hujan yang asing bagiku, tetapi tidak untuk Hanumku.
Hujan itu menciptakan kisah di atas rajutanku yang sedang terbengkalai. Hujan itu tak berperasaan, menjemput Hanumku tanpa berpamitan. Hujan itu menghujani taman bungaku, hadir membawa air yang mematikan. Pesan Hanum hadir, “Aku tetap sayang, aku tidak pernah menduakanmu”.