Tak Enaknya Nikmati Masa Tua di Panti Jompo, Cerpen

Dingin terasa di lengan kananku, seperti handuk basah yang sengaja diusap-usap. Pasti ini anakku, Diana yang sedang membersihkan tubuhku. Aku mengerjapkan mata perlahan. Tubuhku rasanya sakit semua, bahkan sulit untuk digerakkan. Mungkin stroke yang dideritaku sudah semakin parah. Mataku terbuka. Aku menemukan seorang dengan pakaian serba putih tersenyum. Tidak, dia bukan Diana, anakku yang setahun belakangan ini mengurusiku.

Kulihat kesekeliling, ini bukan kamarku di rumah, juga bukan kamar anakku di rumahnya. Cat tembok berwarna serba putih dengan horden bunga warna merah. Tempat ini seperti sebuah rumah sakit, tetapi semua pasiennya mengenakan pakaian bebas.
Tak Enaknya Nikmati Masa Tua di Panti Jompo, Cerpen
Di kamar ini ada enam tempat tidur yang semuanya ditempati  wanita tua. Aku melihat muka pintu yang terbuka. Di bagian atasnya tertulis Bakung 06. Aah… memang benar ini adalah sebuah rumah sakit.

Aku coba mengingat-ingat mengapa aku bisa sampai di sini. Ah iya, kemarin stroke yang aku derita kambuh. Aku sampai tidak nafsu makan dan selalu memuntahkan makanan yang telah kumakan. Kepalaku pusing sekali. Aku tidak bisa menahan sakitnya kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi.

Perawat telah selesai membersihkan tubuhku. Ia kembali tersenyum ramah sambil berkata. “Saya sudah selesai membersihkan badan Ibu. Setelah ini Ibu harus memakan sarapan yang telah disediakan.”

Kemudian menunjuk meja kecil di samping kanan ranjangku. “atau Ibu ingin saya suapi?” lanjutnya menawarkan. “Tidak perlu, Sus. Saya bisa sendiri.” Jawabku.

Perawat itu membantuku menyandarkan punggung pada dipan ranjang dan mengambil nampan untuk ditaruh di atas pahaku agar aku mudah untuk menyantapnya. Semangkuk bubur dengan suiran ayam, teh hangat, dan beberapa potong buah apel.

Perawat itu berlalu setelah memastikan aku tidak butuh bantuan lain darinya. Lidahku rasanya pahit, aku jadi tidak berselera makan. Tetapi perutku lapar, jadi aku menyeruput teh hangat dan buah apelnya saja.

Pasien yang berada di depanku sedang bercerita kepada pasien lain di sebelah ranjangnya. Ia bercerita penuh semangat  tentang masa muda bersama suaminya dan bagaimana Robin suaminya itu melamarnya. Wanita tua di samping kananku terbaring dalam diam.

Matanya menatap kosong pada plafon putih di atasnya. Pasien di dekat jendela itu sedang berbincang dengan seorang perawat. Perawat itu berlalu menuju pintu cepat-cepat aku memanggilnya.
“Suster!”, kataku pelan.

Perawat itu mendekati ranjangku. “Ada apa Bu?”
“Di mana anakku? Apakah dia yang membawaku kemari?” tanyaku penasaran.

“Iya anak Ibu yang membawa Ibu kemari. Pihak panti telah menghubunginya untuk menjengukmu karena ibu telah siuman.” Jawabnya.

Aku terkejut. “Panti? Ini sebuah panti?” tanyaku memastikan sekali lagi sebab masih belum percaya dengan jawaban si perawat ini.

“Iya Bu. Kemarin anak Ibu membawa Ibu kemari dan langsung mengurusi surat-surat dan administrasinya. Ibu sudah didaftarkan di panti ini.” Jawabnya lagi. Jawabannya semakin mengecewakan.

Bagaimana mungkin anak semata wayang yang telah kubesarkan dengan penuh kasih sayang rela menitipkan aku sebuah panti jompo. Tega membawa ibunya di tempat orang menua tanpa cinta sejati keluarga dan malah dikasihani oleh orang lain. Apakah cinta dan pengorbananku selama ini tak ternilai di matanya?

Perempuan berkepala tiga itu masuk ke kamar kami. Ia langsung menghampiri ranjangku dan memeluk erat tubuh senjaku.
“Maafkan aku Bu,” isaknya dengan nada penyesalan.

Aku hanya diam dan mengangguk meski nanti akan menuntut penjelasan mengapa ia tega menaruhku di sini. Bukan dibawanya aku ke rumahnya untuk menemani masa tuaku. Aku sebenarnya tidak ingin merepotkannya, tetapi dialah satu-satunya keluarga yang aku punya.

Kalau aku masih bisa melakukan segalanya sendiri akan kulakukan, aku juga tidak akan hanya menyibukkan diri di depan televisi dan di atas rancang tanpa bisa kemana-mana. “Mengapa kamu tega menitipkan Ibumu di sini nak?” Tanyaku langsung. Ia melepaskan pelukannya, duduk di sisi tempat tidurku sambil menggenggam tanganku.

“Aku terpaksa membawa Ibu kemari karena himpitan ekonomi keluarga kita. Uang pensiun ayah tak akan cukup untuk memenuhi keperluan Ibu. Membayar rumah sakit, membayar listrik, air, untuk makan sehari-hari, dan lain-lain. Ibu tahu Bang Sena hanya karyawan biasa dengan gaji kecil. Aku juga harus mencari pendapatan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluargaku. Kalau aku bekerja siapa yang menjaga Ibu di rumah?”

Jelasnya panjang lebar. Matanya masih berkaca-kaca. Suaranya parau seperti ada yang tertahan di dadanya. Sebuah tega yang sebenarnya ingin di tahan tetapi terlanjur keluar.

Iya suaminya hanyalah karyawan biasa. Aku adalah pensiunan guru sama seperti suamiku. Aku bukan PNS sehingga tidak menerima uang pensiun, tetapi suamiku adalah seorang PNS dan dia telah meninggal enam tahun lalu sebelum aku terkena stroke.

Biaya hidup sekarang mahal, belum lagi Diana harus menabung untuk biaya pendidikan anak-anaknya yang masih kecil. Sungguh merepotkan jika dia juga harus mengurusku, tapi aku tak punya orang lain selain dia.

“Iya Ibu mengerti, tetapi kamu kan bisa sesekali menjenguk Ibu sebelum kamu pulang ke rumahmu? Tua hingga meninggal di sini tidak menyenangkan Diana. Ibu ingin kamu yang merawat Ibu, bukan suster yang berpakaian serba putih itu.”

“Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi. Aku belum siap kehilangan Ibu. Kemarin Ibu jatuh pingsan di kamar mandi.

Badan Ibu kedinginan hampir membeku. Aku tahu saat aku pulang kerja. Kita tidak mampu membayar perawat pribadi di rumah. Kalau kejadian itu terulang lagi bagaimana Bu?” ia kembali terisak. Raut wajahnya sudah agak lega, ia telah mantap memutuskan aku untuk tinggal di panti jompo. Mungkin ini telah menjadi takdirku menghabiskan sisa usia tanpa keluarga, tanpa seorang anak semata wayang. Satu-satunya cahaya yang kuharapkan kini meredup karena kerasnya hidup.

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Footer